Senin, 14 Januari 2013

Mujizat Natal

Natal akan menjelang tiba. Sekalipun memang kelahiran Yesus Kristus tidaklah dapat dipastikan jatuh pada tanggal 25 Desember tetapi tetap tidak diragukan bahwa Yesus Kristus pernah dilahirkan oleh anak dara Maria di suatu tempat di Bethelem pada suatu tanggal lebih dari 2000 tahun yang lalu.
Hanya karena tanggalnya yang pasti tidak dapat kita tentukan, apakah itu berarti tidak ada yang harus dirayakan? Kelahiran Yesus Kristus merupakan suatu mujizat dan kehidupan-Nya juga penuh dengan mujizat. Mujizat tidak berakhir dengan kematian-Nya yang disusuli oleh kebangkitan - suatu hal yang masih belum dapat diciplak oleh manusia tidak kira betapa canggihnya teknologi zaman ini.
Dan mujizat terus terjadi sampai ke hari ini terutamanya di hari-hari menjelang Natal, bukan karena Tuhan hanya berkarya di musim Natal tetapi karena agen-agen-Nya, yaitu umat-umat-Nya lebih cenderung untuk membuka diri menjadi saluran berkat dan kasih bagi orang di sekitarnya pada musim Natal. Berikut adalah beberapa kisah nyata yang dialami oleh orang-orang biasa karena tindakan-tindakan kasih oleh orang-orang yang biasa-biasa juga.
Hal-hal yang mendefinisikan semangat Natal adalah hal-hal yang kita lakukan bagi sesama manusia dan bukannya terang-terang lampu, lagu-lagu dan hadiah-hadiah yang kita terima. Ingatlah, tindakan kasih dan kemurahan kita bisa saja menjadi jawaban doa bagi orang lain.
Malaikat yang Berbaju Merah
Dua hari sebelum Natal, Michelle dengan berat hari berbelanja ke toko dekat rumahnya. Sebagai seorang ibu tunggal yang harus membesarkan 5 anak sendirian, hidupnya terasa berat. Ia hanya mempunyai $35 dan kartu ATM-nya sudah diblokir.
Tetapi ia tahu Natal sangat penting bagi anak-anak. Ia berusaha untuk membeli bahan-bahan makanan yang murah untuk menyiapkan hidangan Natal yang sederhana bagi keluarganya. Di meja kassa terkumpul belanjaannya - kentang, sayuran, daging asinan dan beberapa keperluan untuk membuat hidangan pencuci mulut bagi anak-anaknya yang kecil. Total yang harus dibayarnya, $85.24. Ia coba menggunakan kartu ATM-nya. Seperti yang diduga, kartunya ditolak. Di belakangnya antrian sudah panjang dan banyak muka-muka yang sudah tidak sabar lagi. Ia mengigit bibirnya dan berusaha untuk menahan air matanya dari menetes. Anak bungsunya yang berumur dua tahun mulai merengek sambil menarik-narik lengan bajunya.
Michelle mulai mengurangi barang belanjaannya, daging asin dikembalikan ke dalam keranjang. "Air mata saya mulai menetes. Saya merasa malu." Tiba-tiba seorang wanita muda yang berdiri di belakangnya menepuk-nepuk bahunya. Di waktu yang bersamaan, kasir mengembalikan barang belanjaannya sambil berkata, "Hari ini Anda beruntung". Saya kaget, "Apa?"
Ia mengangguk kepada wanita cantik yang berbusana merah yang tadinya menepuk bahu saya, dan berkata, "Udah dibayar oleh dia."
Saya tidak tahu harus berkata apa dan saya hanya memandang padanya dan berkata, "Terima kasih."
Malaikat yang berbaju merah itu berkata, "Nga masalah, saya juga pernah mengalami waktu-waktu sulit. Selamat Natal.’
Sang kasir, Cynthia Pousinho berkata, "Kami semua merasa terharu. Wanita yang berbelanja itu (Michelle) menangis, teman saya yang membantu mengepak barang belanjaan turut menangis. Tetapi wanita yang membayar itu tidak menganggap apa yang dilakukannya sesuatu yang luar biasa. Ia hanya berkata, "Saya tahu bagaimana rasanya, dan menyodorkan selembar $100."
Michelle merasa bahwa ia seperti sedang bermimpi. "Saya terkejut dan terharu. Hal-hal seperti ini tidak terjadi. Saya berpikir, "Memang Tuhan ada. Saya harap wanita itu tahu betapa berartinya apa yang telah dia lakukan buat kami...kami sangat menghargai apa yang telah ia lakukan."
Itulah yang Yesus mau saya lakukan...
Pertengkaran dengan istrinya membuat hati Dan resah dan pikirannya berkecamuk. Untuk menenangkan diri ia memutuskan untuk mengelilingi kota dengan sepeda motornya. Tidak lama setelah memasuki jalan tol ia melihat saya mendorong sepeda motor karena ban belakang motor saya kempis. Dan melambaikan tangan ke arah saya, pada awalnya saya pikir ia sedang mengolok saya. Tetapi ternyata ia keluar dari tol dan masuk kembali di arah yang berlawanan dan menghampiri saya.  Setelah mengecek keadaan ban yang kempis itu, Dan menawarkan untuk kembali ke rumahnya dan membawa mobil gerbong untuk mengeluarkan sepeda motor saya dari jalan tol. Jarak rumahnya dari jalan tol itu sekitar 30 km dan saya agak kaget kenapa ia mau melakukan itu padahal saya tidak dikenalnya.
Setelah menunggu sekitar 1 jam, Dan kembali dan menaikkan sepeda motor ke dalam mobil gerbong yang dipinjam dari temannya. Dalam perjalanan ke tempat tinggalnya kami sempat obrol dari situlah saya tahu namanya Dan dan ia seorang Kristen. Ia berkata bahwa ia membantu saya karena ia pikir itulah yang Yesus mau dia lakukan.
Dan bukan saja membawa sepeda motor saya ke kota tempat tinggalnya tapi menawarkan untuk menghantar saya ke rumah saya yang jaraknya sekitar 45 km dari kotanya. Berarti Dan harus menempuh perjalanan selama 90 km pulang-pergi hanya untuk menghantar saya. Keesokan harinya ia menelepon saya dan memberitahu saya bahwa ia telah menambal ban saya yang kempis itu! Waktu saya mengambil sepeda motor saya Dan menolak untuk menerima bayaran padahal pasti ia telah menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk menambal ban saya. Belum lagi uang bensin yang harus ditanggungnya karena menghantar saya pulang kemarin.
Setelah peristiwa ini kami sempat beberapa kali obrol di telpon tetapi setelah itu kami masing-masing sibuk dan kehilangan jejak. Sekarang saya tidak tahu di mana Dan tinggal. Tapi saya mau mengucapkan terima kasih kepadanya jika ia sempat membaca ini. Kebaikan dan kemurahan hatinya terhadap seorang yang sama sekali tidak dikenalnya sangatlah dihargai!
Lingkaran kasih
Oleh Jon, Kampala Uganda
Ibu saya telah memberitahu saya dan Karin, adik saya bahwa Natal tahun ini akan sangat sederhana, kami hanya akan mendapatkan satu hadiah kecil dan tidak akan ada perayaan istimewa. Ayah kami baru saja meninggalkan kami dan kami tinggal jauh dari sanak saudara, jauh dari teman-teman, ibu tidak punya penghasilan tetap dan kami juga tidak punya banyak harapan bagi masa depan kami. Bagaimanapun, setiap malam saya berdoa untuk mujizat terjadi.
Pada malam menjelang Natal, kami mendengar bunyi ketukan pintu, ibu dan saya keluar ke serambi kecil di depan rumah kami. Kami melihat dua pria dengan dua keranjang besar yang dipenuhi oleh makanan dan hadiah-hadiah. Air mata ibu mulai mengalir, air mata sukacita dan mungkin juga sedikit kesedihan. Ia dibanjiri rasa tidak percaya. Karin dan saya cukup senang karena tidak menyangka kami akan mendapat hadiah yang begitu banyak. Ternyata kedua pria itu adalah tetangga kami, dan walaupun kami tidak begitu saling kenal tetapi mereka merasakan bahwa kami membutuhkan bantuan dan mereka mau melakukan sesuatu supaya Natal kami terasa spesial. Kami menerima makanan, gula-gula, kueh-kueh kering, mainan dan berbagai hadiah yang lain.
Sekarang banyak tahun sudah berlalu, dan saya sedang melewati daerah kumuh di Kampala, Uganda. Saya di sini untuk membantu membangun sekolah. Hujan baru saja berhenti dan jalan dipenuhi  lumpur kotor yang berwarna merah tua. Di arah yang berlawanan saya melihat seorang wanita berjalan bertatah-tatih sambil memegang sepatu untuk melindungi sepatunya dari lumpur. Saya memandang wajahnya dan mata kami bertemu. Secara instan saya tahu, saya tidak mengerti bagaimana saya tahu tetapi informasi itu datang begitu saja. Dan hal ini bukan hanya terjadi kali ini. Saya tahu wanita itu sedang mencari pekerjaan dan ia membutuhkan uang untuk membiayai hidup keluarganya. Saya berhenti sejenak dan memandang ke dia. Ia memakai pakaian yang dibeli dari pasar yang menjual pakaian rombengan. Dan besar kemungkinan itulah pakaian terbaik yang dimilikinya.
Saya bertanya kepada dia, "Anda tidak punya uang transpor ya?" Ia mengangguk, "Saya tidak punya makanan untuk anak-anak saya." Saya merogoh kocek dan mengeluarkan uang $50 dan juga memberikan uang receh untuknya naik angkutan umum. Uang $50 cukup untuk dia membeli makanan bagi keluarganya selama sebulan.
Seraya saya memberikan uang itu kepadanya, ia menangis dan memberitahu saya ia tidak seharusnya menerima uang itu, tetapi ia terpaksa, dan ia akan mendoakan saya. Katanya lagi, "Pagi tadi saya berdoa untuk mujizat, untuk suatu tanda dan siangnya saya bertemu Anda."
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan kami masing-masing. Ia bersukacita dengan jawaban doanya dan saya merenungkan apa yang baru saya alami, apa yang baru saja kami alami. Saya menyadari bahwa saya baru saja mengambil bagian di dalam satu rencana ilahi, satu lingkaran yang berjalan terus yang mengizinkan mujizat untuk terus berlangsung. Dulu saya menerima dan berkat anugerah-Nya, sekarang saya mampu untuk memberi.

Cerita Tentang Natal

Asal-mula Pohon Natal
oleh: Romo William P. Saunders *

Kisah Pohon Natal merupakan bagian dari riwayat hidup St. Bonifasius, yang nama aslinya adalah Winfrid. St. Bonifasius dilahirkan sekitar tahun 680 di Devonshire, Inggris. Pada usia lima tahun, ia ingin menjadi seorang biarawan; ia masuk sekolah biara dekat Exeter dua tahun kemudian. Pada usia empatbelas tahun, ia masuk biara di Nursling dalam wilayah Keuskupan Winchester. St. Bonifasius seorang yang giat belajar, murid abas biara yang berpengetahuan luas, Winbert. Kelak, Bonifasius menjadi pimpinan sekolah tersebut.
Pada waktu itu, sebagian besar penduduk Eropa utara dan tengah masih belum mendengar tentang Kabar Gembira. St. Bonifasius memutuskan untuk menjadi seorang misionaris bagi mereka. Setelah satu perjuangan singkat, ia mohon persetujuan resmi dari Paus St. Gregorius II. Bapa Suci menugaskannya untuk mewartakan Injil kepada orang-orang Jerman. (Juga pada waktu itu St. Bonifasius mengubah namanya dari Winfrid menjadi Bonifasius). St. Bonifasius menjelajah Jerman melalui pegunungan Alpen hingga ke Bavaria dan kemudian ke Hesse dan Thuringia. Pada tahun 722, paus mentahbiskan St. Bonifasius sebagai uskup dengan wewenang meliputi seluruh Jerman. Ia tahu bahwa tantangannya yang terbesar adalah melenyapkan takhayul kafir yang menghambat diterimanya Injil dan bertobatnya penduduk. Dikenal sebagai “Rasul Jerman”, St. Bonifasius terus mewartakan Injil hingga ia wafat sebagai martir pada tahun 754. Marilah kita memulai cerita kita tentang Pohon Natal.
Dengan rombongan pengikutnya yang setia, St. Bonifasius sedang melintasi hutan dengan menyusuri suatu jalan setapak Romawi kuno pada suatu Malam Natal. Salju menyelimuti permukaan tanah dan menghapus jejak-jejak kaki mereka. Mereka dapat melihat napas mereka dalam udara yang dingin menggigit. Meskipun beberapa di antara mereka mengusulkan agar mereka segera berkemah malam itu, St. Bonifasius mendorong mereka untuk terus maju dengan berkata, “Ayo, saudara-saudara, majulah sedikit lagi. Sinar rembulan menerangi kita sekarang ini dan jalan setapak enak dilalui. Aku tahu bahwa kalian capai; dan hatiku sendiri pun rindu akan kampung halaman di Inggris, di mana orang-orang yang aku kasihi sedang merayakan Malam Natal. Oh, andai saja aku dapat melarikan diri dari lautan Jerman yang liar dan berbadai ganas ini ke dalam pelukan tanah airku yang aman dan damai! Tetapi, kita punya tugas yang harus kita lakukan sebelum kita berpesta malam ini. Sebab sekarang inilah Malam Natal, dan orang-orang kafir di hutan ini sedang berkumpul dekat pohon Oak Geismar untuk memuja dewa mereka, Thor; hal-hal serta perbuatan-perbuatan aneh akan terjadi di sana, yang menjadikan jiwa mereka hitam. Tetapi, kita diutus untuk menerangi kegelapan mereka; kita akan mengajarkan kepada saudara-saudara kita itu untuk merayakan Natal bersama kita karena mereka belum mengenalnya. Ayo, maju terus, dalam nama Tuhan!”
Mereka pun terus melangkah maju dengan dikobarkan kata-kata semangat St. Bonifasius. Sejenak kemudian, jalan mengarah ke daerah terbuka. Mereka melihat rumah-rumah, namun tampak gelap dan kosong. Tak seorang pun kelihatan. Hanya suara gonggongan anjing dan ringkikan kuda sesekali memecah keheningan. Mereka berjalan terus dan tiba di suatu tanah lapang di tengah hutan, dan di sana tampaklah pohon Oak Kilat Geismar yang keramat. “Di sini,” St. Bonifasius berseru sembari mengacungkan tongkat uskup berlambang salib di atasnya, “di sinilah pohon oak Kilat; dan di sinilah salib Kistus akan mematahkan palu sang dewa kafir Thor.”
Di depan pohon oak itu ada api unggun yang sangat besar. Percikan-percikan apinya menari-nari di udara. Warga desa mengelilingi api unggun menghadap ke pohon keramat. St. Bonifasius menyela pertemuan mereka, “Salam, wahai putera-putera hutan! Seorang asing mohon kehangatan api unggunmu di malam yang dingin.” Sementara St. Bonifasius dan para pengikutnya mendekati api unggun, mata orang-orang desa menatap orang-orang asing ini. St. Bonifasius melanjutkan, “Aku saudaramu, saudara bangsa German, berasal dari Wessex, di seberang laut. Aku datang untuk menyampaikan salam dari negeriku, dan menyampaikan pesan dari Bapa-Semua, yang aku layani.”
Hunrad, pendeta tua dewa Thor, menyambut St. Bonifasius beserta para pengikutnya. Hunrad kemudian berkata kepada mereka, “Berdirilah di sini, saudara-saudara, dan lihatlah apa yang membuat dewa-dewa mengumpulkan kita di sini! Malam ini adalah malam kematian dewa matahari, Baldur yang Menawan, yang dikasihi para dewa dan manusia. Malam ini adalah malam kegelapan dan kekuasaan musim dingin, malam kurban dan kengerian besar. Malam ini Thor yang agung, dewa kilat dan perang, kepada siapa pohon oak ini dikeramatkan, sedang berduka karena kematian Baldur, dan ia marah kepada orang-orang ini sebab mereka telah melalaikan pemujaan kepadanya. Telah lama berlalu sejak sesaji dipersembahkan di atas altarnya, telah lama sejak akar-akar pohonnya yang keramat disiram dengan darah. Sebab itu daun-daunnya layu sebelum waktunya dan dahan-dahannya meranggas hingga hampir mati. Sebab itu, bangsa-bangsa Slav dan Saxon telah mengalahkan kita dalam pertempuran. Sebab itu, panenan telah gagal, dan gerombolan serigala memporak-porandakan kawanan ternak, kekuatan telah menjauhi busur panah, gagang-gagang tombak menjadi patah, dan babi hutan membinasakan pemburu. Sebab itu, wabah telah menyebar di rumah-rumah tinggal kalian, dan jumlah mereka yang tewas jauh lebih banyak daripada mereka yang hidup di seluruh dusun-dusunmu. Jawablah aku, hai kalian, tidakkah apa yang kukatakan ini benar?” Orang banyak menggumamkan persetujuan mereka dan mereka mulai memanjatkan puji-pujian kepada Thor.
Ketika suara-suara itu telah reda, Hunrad mengumumkan, “Tak satu pun dari hal-hal ini yang menyenangkan dewa. Semakin berharga persembahan yang akan menghapuskan dosa-dosa kalian, semakin berharga embun merah yang akan memberi hidup baru bagi pohon darah yang keramat ini. Thor menghendaki persembahan kalian yang paling berharga dan mulia.”       
Dengan itu, Hunrad menghampiri anak-anak, yang dikelompokkan tersendiri di sekeliling api unggun. Ia memilih seorang anak laki-laki yang paling elok, Asulf, putera Duke Alvold dan isterinya, Thekla, lalu memaklumkan bahwa anak itu akan dikurbankan untuk pergi ke Valhalla guna menyampaikan pesan rakyat kepada Thor. Orang tua Asulf terguncang hebat. Tetapi, tak seorang pun berani berbicara.
Hunrad menggiring anak itu ke sebuah altar batu yang besar antara pohon oak dan api unggun. Ia mengenakan penutup mata pada anak itu dan menyuruhnya berlutut dan meletakkan kepalanya di atas altar batu. Orang-orang bergerak mendekat, dan St. Bonifasius menempatkan dirinya dekat sang pendeta. Hunrad kemudian mengangkat tinggi-tinggi palu dewa Thor keramat miliknya yang terbuat dari batu hitam, siap meremukkan batok kepala Asulf yang kecil dengannya. Sementara palu dihujamkan, St. Bonifasius menangkis palu itu dengan tongkat uskupnya sehingga palu terlepas dari tangan Hunrad dan patah menjadi dua saat menghantam altar batu. Suara decak kagum dan sukacita membahana di udara. Thekla lari menjemput puteranya yang telah diselamatkan dari kurban berdarah itu lalu memeluknya erat-erat.  
St. Bonifasius, dengan wajahnya bersinar, berbicara kepada orang banyak, “Dengarlah, wahai putera-putera hutan! Tidak akan ada darah mengalir malam ini. Sebab, malam ini adalah malam kelahiran Kristus, Putera Bapa Semua, Juruselamat umat manusia. Ia lebih elok dari Baldur yang Menawan, lebih agung dari Odin yang Bijaksana, lebih berbelas kasihan dari Freya yang Baik. Sebab Ia datang, kurban disudahi. Thor, si Gelap, yang kepadanya kalian berseru dengan sia-sia, sudah mati. Jauh dalam bayang-bayang Niffelheim ia telah hilang untuk selama-lamanya. Dan sekarang, pada malam Kristus ini, kalian akan memulai hidup baru. Pohon darah ini tidak akan menghantui tanah kalian lagi. Dalam nama Tuhan, aku akan memusnahkannya.” St. Bonifasius kemudian mengeluarkan kapaknya yang lebar dan mulai menebas pohon. Tiba-tiba terasa suatu hembusan angin yang dahsyat dan pohon itu tumbang dengan akar-akarnya tercabut dari tanah dan terbelah menjadi empat bagian.
Di balik pohon oak raksasa itu, berdirilah sebatang pohon cemara muda, bagaikan puncak menara gereja yang menunjuk ke surga. St. Bonifasius kembali berbicara kepada warga desa, “Pohon kecil ini, pohon muda hutan, akan menjadi pohon kudus kalian mulai malam ini. Pohon ini adalah pohon damai, sebab rumah-rumah kalian dibangun dari kayu cemara. Pohon ini adalah lambang kehidupan abadi, sebab daun-daunnya senantiasa hijau. Lihatlah, bagaimana daun-daun itu menunjuk ke langit, ke surga. Biarlah pohon ini dinamakan pohon kanak-kanak Yesus; berkumpullah di sekelilingnya, bukan di tengah hutan yang liar, melainkan dalam rumah kalian sendiri; di sana ia akan dibanjiri, bukan oleh persembahan darah yang tercurah, melainkan persembahan-persembahan cinta dan kasih.”  
Maka, mereka mengambil pohon cemara itu dan membawanya ke desa. Duke Alvold menempatkan pohon di tengah-tengah rumahnya yang besar. Mereka memasang lilin-lilin di dahan-dahannya, dan pohon itu tampak bagaikan dipenuhi bintang-bintang. Lalu, St. Bonifasius, dengan Hundrad duduk di bawah kakinya, menceritakan kisah Betlehem, Bayi Yesus di palungan, para gembala, dan para malaikat. Semuanya mendengarkan dengan takjub. Si kecil Asulf, duduk di pangkuan ibunya, berkata, “Mama, dengarlah, aku mendengar para malaikat itu bernyanyi dari balik pohon.” Sebagian orang percaya apa yang dikatakannya benar; sebagian lainnya mengatakan bahwa itulah suara nyanyian yang dimadahkan oleh para pengikut St. Bonifasius, “Kemuliaan bagi Allah di tempat mahatinggi, dan damai di bumi; rahmat dan berkat mengalir dari surga kepada manusia mulai dari sekarang sampai selama-lamanya.”
Sementara kita berkumpul di sekeliling Pohon Natal kita, kiranya kita mengucap syukur atas karunia iman, senantiasa menyimpan kisah kelahiran Sang Juruselamat dalam hati kita, dan menyimak nyanyian pujian para malailat. Kepada segenap pembaca, saya mengucapkan Selamat Hari Raya Natal yang penuh berkat dan sukacita!